Paus Fransiskus Meninggal, aku masih ingat jelas pagi itu. Jam di dinding menunjukkan pukul 07.00 saat notifikasi dari Twitter membuatku berhenti menyeduh kopi. “BREAKING: Paus Fransiskus Meninggal Dunia.” Rasanya seperti ada sesuatu yang runtuh di dalam diriku. Aku bukan orang suci, bahkan mungkin bukan Katolik yang patuh. Tapi Paus Fransiskus adalah satu dari sedikit tokoh yang bisa membuatku ingin jadi manusia lebih baik, bukan karena dogma, tapi karena keteladanan.
Aku terduduk lama di sofa. Pikiran berkecamuk. Sosok tua yang selalu tersenyum lembut dari balik jendela Vatikan itu kini telah tiada. Dunia kehilangan seorang pemimpin, dan aku… kehilangan panutan yang selama ini hanya kulihat dari layar, tapi seolah begitu dekat di hati.
Ketika Dunia Kehilangan Seorang Paus Fransiskus Meninggal, Aku Kehilangan Inspirasi

Pertama Kali Mendengar Nama “Fransiskus”
Saat Jorge Mario Bergoglio terpilih menjadi Paus pada 2013, aku nggak tahu harus bereaksi seperti apa. Tapi begitu media menyebut dia memilih nama “Fransiskus”, aku mulai tertarik. Kenapa Fransiskus? Ternyata itu merujuk pada Santo Fransiskus dari Assisi, pelindung kaum miskin dan lingkungan hidup.
Lalu aku baca satu artikel tentang dia yang masih naik bus saat jadi Kardinal di Buenos Aires. Bus! Paus yang biasanya identik dengan mobil mewah dan penjagaan ketat, naik bus kayak warga biasa. Dari situ aku tahu, dia beda.
Dan sejak saat itu, aku mulai mengikuti langkahnya.
Paus yang Dekat dengan Hati Umat
Paus Fransiskus Meninggal punya cara bicara yang menyentuh, meski kalimatnya sederhana. Pernah suatu kali aku nonton pidato Natalnya, dan dia bilang:
“Kita semua adalah pendosa. Tidak ada yang lebih baik dari yang lain di mata Tuhan.”
Entah kenapa, kalimat itu menghantam hatiku. Selama ini aku selalu merasa ‘nggak cukup baik’ untuk dekat dengan agama. Tapi beliau menghapus jarak itu. Mengingatkan bahwa spiritualitas bukan soal kesempurnaan, tapi pengakuan akan ketidaksempurnaan kita.
Itulah kenapa aku dan banyak orang merasa dekat dengannya. Dia bukan Paus yang menggurui. Dia seperti kakek yang penuh kasih, yang menepuk bahu kita saat kita salah, bukan membentak.
Saat Beliau Bicara Soal Isu Sensitif
Jujur, aku sempat skeptis waktu gereja bicara soal politik. Tapi Paus Fransiskus Meninggal berbeda. Dia bicara soal perubahan iklim, soal ketidakadilan sosial, soal pengungsi dan korban perang.
Waktu dia merilis Laudato Si’, ensiklik tentang lingkungan hidup, aku kagum. Siapa sangka Paus akan mengajak kita semua menjaga bumi? Bahkan aku — yang waktu itu masih buang sampah sembarangan — mulai merasa malu.
Aku ingat salah satu kalimatnya:
“Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang kita, kita meminjamnya dari anak cucu kita.”
Itu jadi titik balik. Aku mulai belajar memilah sampah, bawa tas belanja sendiri, dan ikut bersih-bersih pantai bareng komunitas. Bukan karena tren, tapi karena kata-kata Paus itu menggema terus di kepala.
Momen yang Paling Menyentuh: Pandemi
Tapi yang paling berkesan buatku adalah saat pandemi COVID-19. Maret 2020. Dunia gelap. Semua orang takut. Dan di tengah Lapangan Santo Petrus yang kosong, hanya satu sosok berdiri dengan jas putih dan payung hitam: Paus Fransiskus Meninggal.
Dia berdiri sendirian, mendoakan dunia.
Aku nangis waktu itu. Bukan karena religius, tapi karena merasa ada seseorang yang tetap berdiri saat semua runtuh. Bahkan di usia tuanya, dia memikul beban dunia, memeluk rasa takut umatnya dengan doa.
Itu bukan cuma pemimpin rohani. Itu ayah. Itu simbol harapan.
Saat Kabar Wafat Itu Datang
Dan sekarang… beliau telah pergi.
Tanggal 21 April 2025, saat seluruh dunia masih merayakan Paskah, beliau menghembuskan napas terakhir di Domus Sanctae Marthae, Vatikan. Penyebabnya stroke, katanya. Dalam tidurnya. Damai, tenang — seperti hidup yang dia jalani.
Aku nggak langsung percaya. Bahkan sempat cek beberapa situs buat pastikan itu bukan hoaks. Tapi semua media konfirmasi. Jenazahnya pun sudah disemayamkan di Basilika Santo Petrus, katanya. Umat datang dari seluruh penjuru dunia untuk memberi penghormatan.
Dan aku? Aku menyalakan lilin kecil di pojok meja kerja, sambil membuka kembali pidato-pidatonya yang tersimpan di bookmark browser.
Warisan yang Tidak Akan Hilang
Banyak yang bilang Paus Fransiskus Meninggal adalah revolusioner. Tapi buatku, dia bukan sekadar reformis. Dia adalah pengingat. Bahwa agama harusnya melindungi yang lemah, bukan menakuti. Bahwa kasih lebih penting dari aturan.
Dia tidak hanya berbicara tentang kasih. Dia menunjukkannya. Saat dia cuci kaki para narapidana, saat dia peluk anak berkebutuhan khusus, saat dia tolak tinggal di istana demi kamar kecil yang lebih sederhana, dikutip dari laman resmi Kompas.
Itu bukan pencitraan. Itu ketulusan.
Bagaimana Hidupku Berubah Karena Beliau
Dulu aku merasa agama itu membatasi. Tapi Paus Fransiskus Meninggal mengajarkanku bahwa iman seharusnya membebaskan. Bukan dalam arti “bebas berbuat apa saja”, tapi bebas dari rasa bersalah yang menindih, dari perasaan tak layak, dari ketakutan.
Aku mulai rajin merenung. Menulis jurnal. Kadang baca Injil, bukan untuk jadi lebih alim, tapi buat mencari makna hidup.
Aku juga jadi lebih berani mencintai tanpa menghakimi. Temanku yang gay, yang dulu merasa jauh dari gereja, merasa diterima kembali karena kata-kata Paus:
“Siapakah saya ini yang bisa menghakimi?”
Tips Hidup dari Paus Fransiskus Meninggal yang Masih Aku Pegang
Aku tahu ini bukan artikel motivasi. Tapi izinkan aku bagikan sedikit “warisan spiritual” yang kuterima dari beliau. Tips ini bukan yang beliau ucapkan langsung ke aku, tentu saja, tapi dari banyak pidatonya:
Mulailah hari dengan syukur. Bahkan jika hanya bisa bersyukur karena masih bisa bernapas.
Hiduplah sederhana. Dunia sudah terlalu ribut dengan pencitraan. Ketulusan lebih langka.
Jangan takut gagal. Tuhan lebih senang kita mencoba dan jatuh, daripada diam dan aman.
Dekatlah dengan mereka yang menderita. Kesalehan tanpa empati itu palsu.
Cintailah bumi. Ini rumah bersama. Jangan tunggu bencana baru sadar pentingnya.
Penutup: Terima Kasih, Fransiskus
Terima kasih, Paus Fransiskus Meninggal. Bukan hanya karena Anda menjadi pemimpin yang hebat, tapi karena Anda mengajarkan aku — dan jutaan lainnya — cara menjadi manusia.
Warisan Anda tidak akan hilang bersama jasad yang dikubur. Ia hidup dalam setiap senyum anak yatim yang Anda peluk. Dalam semangat relawan yang Anda dorong. Dalam doa malamku yang kini lebih jujur.
Anda telah pergi, tapi cahaya Anda tinggal. Dan dunia ini — dunia yang dulu gelap — kini sedikit lebih terang karena kehadiran Anda.
“Semoga engkau beristirahat dalam damai, Bapa Suci. Dan semoga warisanmu hidup dalam kami semua.”
Baca Juga Artikel dari: Tarif Listrik Baru dan Cerita yang Kaget Lihat Tagihan Naik
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Informasi